Diskriminasi
harga mengacu
pada pengenaan harga berbeda untuk produk atau jasa yang
sama, kepada kelompok pelanggan yang berbeda atau dalam pasar yang berbeda. Diskriminasi harga
internasional disebut dumping. Dalam dumping, kurang elastisitas (ekonomi)|elastis) dibanding di luar
negeri. produsen]] menjual suatu komoditas lebih mahal di dalam negeri (yang
kurva permintaan pasarnya).
Menurut ( William A.
McEACHERN : 2001 : 149 ) Diskriminasi
harga adalah menaikkan laba dengan cara menjual barang yang sama dengan harga
berbeda untuk konsumen yang berbeda atas dasar alasan yang tidak berkaitan
dengan biaya.
Dumping merupakan suatu
tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga
negara ekspor dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO.
Berikut langkah-langkah penyelesaian kasus dumping ini.
Indonesia meminta bantuan kepada Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute
Settlement Body(DSB) WTO dan melalui Panel meminta agar kebijakan anti
dumping yang dilakukan Korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan
beberapa point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak
diabaikan dan artikel lainnya dan Indonesia juga meminta Panel terkait
dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and Procedures
Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea
bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT (General Agreement on Tariffs
and Trade) dan membatalkan kebijakan anti dumping impor kertas yang
dikeluarkan oleh menteri keuangan dan ekonomi nya pada tanggal 7 November
2003. Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap
artikel kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan
tarif seperti yang tercakup dalam GATT. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga
dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena
Korea dinilai telah bertindak “curang” dengan tidak melaksanakan keputusan
Panel. Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang
memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan
Internasional Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada
November 2005 menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau
menghitung ulang margin dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk
itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama delapan bulan
setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai
Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping
kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan
anti dumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai
dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua
persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan Bea Masuk
Anti Dumping. Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan
Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi,
yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia
dapat mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai
kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Korean Trade
Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8 - 8,22 %
terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT
Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat
Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat
tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7
persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated
wood free printing paper.
Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan
sesuai prosedur terhadap Korsel.Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim
surat pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November
2006 namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam
pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan
industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok hingga 50 persen dari
US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita
waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan.
Kasus dumping Korea-Indonesia pada
akhirnya dimenangkan oleh Indonesia. Namun untuk
menghadapi kasus kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka Indonesia
perlu melakukan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping
untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang
impor. Selain itu, diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti
Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses investigasi praktek
dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri) yang
diajukan industri dalam negeri.
Pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping
Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan
penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan informasi
mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.
referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi_hargahttp://ayuwinarmi9561.blogspot.co.id/2015/03/pengertian-dan-contoh-kasus-dumping.html