Sabtu, 12 Agustus 2017

Kisah Ka'ab bin Malik dan Kedua Sahabatnya

Kisah Ka’ab bin Malik dan Kedua Sahabatnya

Cerita berikut ini tentang sahabat Rasulullah, Ka’ab bin Malik. Karena absen dalam perang Tabuk, ia bersama dua sahabatnya dikucilkan. Meski akhirnya mereka diampuni oleh Allah, pengucilan itu menjadi bukti untuk menghindari orang yang melakukan dosa.

Kisah Ka’ab bin Malik radhillahu’anhu dan kedua sahabatnya berikut ini bercerita tentang ketidakikutsertaan mereka dalam perang bersama Nabi Shalalluhu ‘alaihi wa sallam. Akibatnya mereka harus menerrima akibat dari perbuatan mereka setelah mendapat jaminan ampunan dari Allah. Yang perlu diperhatikan, kisah historis ini banyak mengandung pelajaran terkait pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya.

Al-Bukhari dan Muslim39 meriwayatkan, ketika tidak ikut dalam perang Tabuk, Ka’ab bin Malik berkata, “Saya belum pernah tertinggal dalam satu perang pun kecuali dalam perang Tabuk. Meskipun saya pernah tidak turut dalam perang Badar, tapi tidak ada seorang pun yang mencelaku seperti dalam perang Tabuk. Ketika itu Rasulullah dan kaum Muslimin keluar untuk menyerang kaum Quraisy. Akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertemukan meraka dan musuhnya pada waktu yang tidak diperhitungkan. Dan saya menyaksikan bersama Nabi Shalalluhu alaihi wa sallam pada malam Aqabah ketika kami mengambil sumpah setia untuk islam. Tidak ada yang lebih saya senangi dari malam tersebut meskipun Badar lebih terkenal di kalangan masyarakat. Adapun cerita yang bisa saya kabarkan saat tertinggal dari Rasulullah dalam perang Tabuk, bahwa saya pada waktu itu belum mempunyai kekuatan dan kemudahan ketika tidak turut dalam perang tersebut. Demi Allah, saya belum pernah menggabungkan dua perjalanan sama sekali, kecuali saya lakukan pada saat perang itu. Rasulullah berperang dalam terik panas, melalui perjalanan yang sangat jauh dan menghadapi musuh yang sangat banyak, agar mereka mempersiapkan segala yang dibutuhkannya dalam perang. Kemudian mereka diarahkan sesuai dengan yang diinginkan, sementara jumlah kaum muslimin yang berada bersama Nabi telah banyak…”

Ka’ab melanjutkan, “Saat itu, sangat sedikit pria yang ingin absen, karena mengira bahwa kesempatan itu akan hilang darinya jika wahyu Allah tidak diturunkan. Nabi maju berperang ketika buah-buahan dan pepohonan sedang merekah. Ketika itu saya sangat ingin ikut berperang. Kemudian Rasulullah dan kaum muslimin bersiap-siap, sementara saya mulai berangkat agar bisa bersiap-siap bersama mereka. Lalu saya kembali dan tidak melakukan apa pun seraya berkata dalam hati, ‘Saya mampu melakukan hal itu jika saya mau.’

Hal itu terus menggeluyuti diriku sementara orang-orang terus mempersiapkan segala sesuatunya. Nabi pun berangkat bersama kaum muslimin, sedang saya belum lagi selesai mempersiapkan segala sesuatunya. Saya pun berangkat lalu kembali lagi tanpa persiapan apapun. Hal it uterus berlarut-larut hingga pasukan Muslimin maju menyerang musuh dan terjun ke kancah perang. Maka, timbul keinginan kuat dalam diriku untuk pergi dan menyusul mereka. Tapi apa yang saya lakukan. Saya tetap tidak bisa melakukannya. Ketika saya beranjak pergi menemui orang-orang setelah Nabi Shalalluhu alaihi wa sallam berangkat, alangkah sedihnya saya tidak menemukan seseorang pun kecuali seorang pria yang tenggelam dalam kemunafikan (maksudnya dituduh munafik) atau pria lemah yang memperoleh izin dari Allah (untuk tidak ikut berperang--pent).

Rasulullah tidak mengingat diriku kecuali setelah sampai di Tabuk. Beliau berkata ketika duduk di tengah-tengah kerumunan pasukan muslimin, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin malik?” Salah seorang pria dari Bani Salamah menjawab, “Wahai Rasulullah! Ia tertahan karena sibuk dengan baju burdahnya dan takjub melihat diri dan pakaiannya.” Mendengar itu, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu  berujar, “Buruk sekali apa yang engkau katakana. Demi Allah, wahai Rasulullah kami hanya tahu kebaikan (darinya).” Maka, Rasulullah pun terdiam. Dalam keadaan seperti itu, beliau melihat seorang pria dengan mengenakan pakaian berwarna putih, bergerak menerobos. Rasulullah berkata, “Ya Allah, semoga pria itu adalah Abu Khaitsamah.” Dan ternyata benar, pria tersebut adalah adalah Aku Khaitsamah orang yang menyedekahkan satu sha’ kurma ketika orang-orang munafik mengejek dan menghardiknya.

Lalu Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu berujar. “Ketika kabar bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam telah bergerak kembali dari Tabuk, saya pun merasa sedih. Kemudian saya mulai berfikir mencari alasan, seraya berkata: Apa yang bisa membuat ku keluar dari kemarahannya besok? Saya meminta saran pendapat dari semua keluargaku. Ketika ada yang mengatakan kepadaku, sesungguhnya Rasulullah telah datang (maksudnya, kedatangannya semakin dekat seolah-olah bayangan beliau menghantuiku). Segala yang tidak benar dalam diriku sirna sampai saya berpikir bahwa saya tidak akan bisa selamat selamanya. Lalu saya pun berusaha menguatkan diri.

Rasulullah pun tiba. Seperti biasanya, setiap tiba dari suatu perjalanan, beliau singgah di masjid lalu shalat dua rakaat dan duduk di masjid. Ketika beliau selesai melakukannya, orang-orang yang tidak turut ikut berperang pun menemuinya, dan minta maaf dan berjanji kepadanya. Saat itu, jumlah mereka sekitar 80 orang lebih. Rasulullah pun menerima keterusterangan mereka, membai’at, meminta ampun untuk mereka serta menyerahkan segala urusan dalam hati mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Akhirnya saya pun tiab. Ketika saya memberi salam, beliau tersenyum  seperti senyuman orang yang sedang marah lalu berkata, “Kemari!” Kemudian saya datang mendekat dan duduk di depannya. Beliau pun berkata kepadaku, “Apa yang membuatmu tidak ikut perang? Bukankah engkau telah menyerahkan dirimu?” Saya menjawab, “Wahai Rasulullah! Demi Allah, jika saya duduk bersama orang lain dari penduduk dunia ini, saya berpikir bisa keluar dari kemarahannya dengan memberikan alasan karena saya lihai dan cakap bertutur kata. Namun demi Allah, saya sadar. Jika hari ini saya mengutarakan kepadamu berita bohong, engkau akan menerima alasanku, pastinya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan segera murka kepadaku. Dan jika saya mengungkapkan kepadamu cerita yang sebenarnya, engkau akan murka kepadaku. Sesungguhnya saya sangat berharap Allah memberikan akhir yang baik dan membalas diriku atas perbuatan tersebut. Demi Allah, saya tidak punya alasan dan demi Allah, saya tidak memiliki kemampuan dan kemudahan dalam diriku ketika tidak ikut perang denganmu.”

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berujar, “Ketahuilah dia ini jujur, maka berdirilah hingga Allah memutuskan perkaramu.” Lalu saya pun berdiri. Beberapa pria dari Bani Salamah bangkit dan mengikutiku, dan mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak pernah mengetahui engkau telah melakukan satu dosa pun selama ini. Sesungguhnya engkau telah menjadi lemah karena tidak mengutarakan alasan kepada Rasulullah, seperti alasan yang dikemukakan orang-orang yang tidak ikut perang lainnya. Dosamu itu cukup dengan permohonan ampun Rasulullah untukmu.”

Ka’ab Radhiyallahu anhu menjawab, “Demi Allah, mereka tidak henti-hentinya menghardikku hingga membuat saya ingin kembali menemui Rasulullah. Namun saya meyakinkan diriku dan berkata kepada mereka, “Apakah ada orang lain yang mengalami hal yang sama denganku?” Mereka menjawab, “Ya, ada dua orang yang mengalami hal yang sama. Mereka berdua berkata seperti yang engkau katakana. Dan mereka mendapat jawaban yang sama sepertimu.”

Aku bertanya, “Siapa mereka?” Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah al-Amiri40 dan Hilal bin Umayyah al-Qaqifi. “Ka’ab berkata, “Mereka lalu menyebutkan dua orang pria shalih yang pernah turut dalam perang Badar dan merupakan teladan.”

Ka’ab melanjutkan, “Kemudian saya berlalu ketika mereka menceritakan diri mereka kepadaku. Nabi pun melarang kaum Muslimin membicarakan tentang kami. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni kami bertiga yang tidak ikut bersama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dalam perang.

Kemudian orang-orang pun menjauhi kami, sikap mereka berubah kepada kami hingga seakan bumi pun menunjukan sikap asing terhadap diriku. Saya tak lagi tinggal di tempat yang pernah saya kenal (segala sesuatunya berubah terhadapku sampai tanah pun turut menunjukan sikap tidak bersahabat, seolah saya tidak pernah mengenalnya). Kami mengalami hal itu (pengucilan) selama 50 malam. Sementara dua temanku pasrah dan duduk di rumahnya sambil menangis. Ketika itu, aku adalah yang paling muda dan tegar. Saya keluar menunaikan shalat dan berkeliling di pasar tanpa ada seorang pun yang menyapaku.

Saya mendatangi Nabi lalu menyalaminya ketika sedang di tempat duduk di mana ia melakukan shalat. Saya berkata dalam hati, apakah beliau shalallahu alaihi wa sallam menggerakkan kedua bibirnya membalas salamku atau tidak? Lalu saya shalat tidak jauh dari beliau sembari mencuri pandang kepadanya. Maka ketika saya selesai menunaikan shalat, beliau melihat ke arahku dan ketika saya menoleh ke arahnya, beliau berpaling. Ketika sikap tidak bersahabat yang ditunjukkan kaum Muslimin berlarut-larut, saya berjalan sampai memanjat pagar dinding Abu Qatadah, keponakanku dan orang yang paling saya sayangi. Kemudian saya memberi salam kepadanya. Namun demi Allah, ia tidak membalas ucapan salamku. Lalu saya berkata kepadanya, “Wahai Abu Khatadah! Saya bertanya kepadamu dengan nama Allah, apakah engkau benar-benar mengetahui bahwa saya adalah orang yang paling dicintai Allah dan Rasul-Nya?”

Ka’ab melanjutkan, “Ia hanya diam membisu. Lalu saya kembali bertanya kepadanya. Tapi ia tetap 
diam. Saya bertanya lagi kepadanya. Maka ia menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Mendengar itu, air mataku berlinang. Saya pun berbalik pergi dengan memanjat pagar dinding tersebut.

Maka ketika saya sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba petani dari penduduk Syam (Damaskus) yang membawa makanan untuk dijual di Madinah berkata, ‘Siapa yang bisa menunjukkan kepadaku Ka’ab bin Malik.’

Orang-orang mulia menunjuk ke arahku. Ketika sampai kepadaku, ia menyodorkan sepucuk surat dari raja Ghassan. Saat itu aku adalah seorang penulis. Saya pun membacanya. Ternyata isi surat itu berbunyi, “Amma ba’d, sesungguhnya telah sampai kabar kepada kami bahwa temanmu telah mengucilkanmu. Dan Allah tidak menjadikanmu (tinggal) di negeri yang hina dan tempat di mana hakmu disia-siakan. Bergabunglah bersama kami. Kami akan memberikanmu hak yang sama di sisi kami.”

Ketika membacanya saya berujar, ‘Ini juga cobaan’. Lalu saya membuangnya ke dalam tungku api yang membakarnya. Ketika 40 dari 50 hari itu berlalu, wahyu tak kunjung turun. Tiba-tiba seorang utusan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam menemuiku dan menyampaikan pesan: Nabi memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu.”

Saya bertanya, “Apakah saya menceraikannya atau apa yang harus saya lakukan?” Utusan itu menjawab, “Tidak. Jauhi dirinya dan jangan sekali-kali mendekatinya.”

Utusan itu lalu menyampaikan hal yang sama kepada kedua sahabatku. Saya pun berkata kepada istriku, “Kembalilah ke keluargamu dan tinggallah bersama mereka hingga Allah memutuskan perkara ini.”

Istri Hilal bin Umayyah pun mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah! Hilal bin Umayyah adalah orang tua yang tidak bisa berbuat apa-apa dan ia tidak mempunyai pembantu. Tidak sukakah engkau jika saya melayaninya?”

Nabi Shalallahu alaihi wa sallam menjawab, “Tidak. Jangan sekali-kali mendekatinya.”

Istrinya berkata lagi, “Demi Allah, dia sebenarnya tidak mau melakukan apa-apa dan ia terus menangis sejak awal permasalahannya muncul hingga hari ini.”

Ka’ab Radhiyallahu anhu melanjutkan kisahnya, “Kemudian ada beberapa keluargaku berkata, ‘Bagaimana jika saya meminta izin kepada Rasulullah untuk istrimu? Karena beliau telah mengizinkan istri Hilal bin Umayyah melayaninya.” Saya menjawab, “Saya tidak akan minta izin kepada Rasulullah untuk istriku, karena saya masih muda.”

Saya bertahan dalam kondisi itu selama 10 malam, hingga genap 50 malam sejak Rasulullah melarang berbicara dengan kami. Pada malam ke-50, saya shalat di dalam rumah. Ketika saya sedang duduk dalam kondisi seperti yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan tentang kami, jiwaku merasa tertekan dan seluruh dunia seakan-akan menjadi sempit bagiku meski ia sangat luas. Saya mendengar suara teriakan seorang pria dari ketinggian gunung Sala41 berkata dengan suara lantang, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!” Mendengar itu, saya pun bersimpuh sujud. Saya mengetahui bahwa jawabannya telah datang.

Rasulullah pun mengumumkan kepada masyarakat, bahwa Allah telah menerima taubat kami ketika ia menunaikan shalat shubuh. Maka orang-orang pun menyampaikan kabar gembira itu kepada kami. Beberapa orang pergi menemui kedua temanku untuk menyampaikan kabar gembira itu. Seorang pria dengan mengendarai kuda terlihat ke arahku. Seorang pria dari Aslam lainnya berlari ke arahku dan mendaki gunung. Suaranya terdengar lebih cepat dari kuda. Maka, ketika terdengar suara pria menyampaikan kabar gembira tersebut, saya langsung mencopot kedua bajuku dan memakaikannya kepadanya karena kabar gembira yang dibawanya. Demi Allah, saat itu, saya hanya mempunyai kedua baju tersebut.

Saya pun meminjam dua buah baju dan mengenakannya, kemudian beranjak pergi menemui Nabi. Dengan berduyun-duyun, orang-orang menemuiku untuk mengucapkan selamat atas diterimanya taubat kami. Mereka mengucapkan, “Selamat! Anda telah mendapatkan taubat dari Allah Subhanahu wa ta’ala.”

Ketika saya masuk masjid, saya mendapati Nabi sedang duduk di dalam masjid dengan dikelilingi oleh para sahabat. Thalhah bin Ubaidillah berlari menuju ke arahku, lalu menjabat tangan dan memberikan ucapan selamat kepadaku. Demi Allah! Hanya dia orang Muhajirin yang berdiri memberikan selamat kepadaku.” Hal itu membuat Ka’ab tidak bisa melupakan Thalhah.

Ka’ab melanjutkan ceritanya, “ketika saya mengucapkan salam kepada Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, dengan wajah bersinar karena senang, beliau berkata, ‘Bergembiralah dengan hari terbaik yang pernah engkau alami sejak ibumu melahirkanmu.”

Saya berkata, “Apakah (taubat itu) darimu wahai Rasulullah atau dari Allah?” Nabi menjawab, “Tidak. Tapi dari Allah.” Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam berbahagia, wajahnya bersinar terang layaknya bulan. Kami tahu persis hal itu.

Ketika saya duduk dihadapannya, saya pun berkata, “Wahai Rasulullah! Sebagai wujud taubatku, saya akan menyedekahkan hartaku kapada Allah dan Rasul-Nya.” Maka Rasulullah menjawab, “Simpan separuh hartamu. Itu lebih baik bagimu.”

Saya pun berkata, “Saya akan menyisakan bagian hartaku yang paling terbaik. Saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah! Allah telah menyematkanku dengan kejujuran dan sebagai wujud taubatku, saya tidak akan bertutur kata kecuali yang benar selama sisa hidupku.”

Ka’ab melanjutkan berkata, “Demi Allah, saya tidak pernah mengetahui ada seorang Muslim yang pernah diberikan nikmat dari Allah untuk berkata jujur sejak saya mengungkapkan hal itu kepada Rasulullah sampai hari ini, lebih baik dari ujian yang pernah saya alami. Demi Allah, saya tidak pernah berkata bohong dengan sengaja sejak saya mengungkapkan hal itu kepada Rasulullah hingga hari ini. Saya berharap semoga Allah memelihara diriku dalam sisa hidupku.” Maka, turunlah ayat:

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hamper berpaling. Kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga ketika bumi menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka merasa sempit, serta mereka telah mengetahui bahwa tiada tempat melarikan diri dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 117-119)

Ka’ab Radhiyallahu anhu menambahkan, “Demi Allah! Tidak ada nikmat yang Allah anugerahkan kepadaku setelah saya diberikan hidayah masuk islam, lebih agung dan mulia bagiku ketimbang kejujuranku kepada Nabi bahwa saya berdusta kepadanya hingga membuatku binasa seperti halnya orang-orang yang suka berdusta itu dibinasakan. Karena Allah mengatakan kepada orang-orang yang suka berdusta ketika wahyu diturunkan sesuatu yang lebih buruk yang pernah diungkapkan.” Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:

“Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (At-Taubah: 95-96)

“Ka’ab melanjutkan, “Kami, semoga Allah mengampuni kami bertiga, pernah tidak mengikuti perintah orang-orang yang diterima Rasulullah ketika mereka bersumpah kepadanya. Lalu ia membaiat dan memohon ampun kepada mereka. Rasulullah kemudian menangguhkan perkara kami hingga Allah memutuskannya. Karena itu, Allah berfirman: “Dan kepada tiga orang yang tertinggal…” (At-Taubah:118) yang disebutkan Allah bukan ketidaksertaan kami dalam perang. Tapi penangguhan putusan-Nya terhadap permasalahan kami dari orang yang bersumpah kepada Rasul, memohon ampun, lalu beliau pun menerimanya.”

Dalam al-Adab al-Mufrad, al-Bukhari menulis bab khusus: “Bab hal-hal yang membolehkan menjauhi orang yang durhaka.” Beliau membawakan sejumlah hadits yang telah disebutkan di atas dengan menambahkan penjelasan, “Dan Ka’ab berkata ketika ia tertinggal dari Nabi: “Dan Nabi melarang kaum muslimin berbicara kepada kami.” Kemudian ia menyebutkan 50 hari tersebut.

Ibnu Hajar rahimahullah mengungkapkan, al-Mihlab berkata, “Tujuan al-Bukhari menyusun secara khusus bab tersebut untuk menjelaskan batasan pengucilan yang diperbolehkan. Bahwa hal itu dilakukan sesuai dengan kadar tindakan dosa yang dilakukan. Karena itu, orang yang suka bermaksiat pantas mendapatkan pengucilan dengan didiamkan dan tidak diajak bicara, seperti yang terjadi dalam kisah Ka’ab dan kedua sahabatnya. Sedangkan jika terjadi permusuhan antara keluarga dan saudara, pengucilan hanya boleh dilakukan sebatas meninggalkan penyebutan nama misalnya, atau senyuman, tanpa meninggalkan salam dan komunikasi.”

Al-Kirmani berkata, “Barangkali yang ia maksud adalah anologi pengucilan orang yang melanggar aturan syariat dengan pengucilan nama orang yang menyalahi perkara yang bersifat alami.”

Sementara itu, ath-Thabari menjelaskan, “Kisah Ka’ab bin Malik merupakan asal mula pengucilan orang yang suka berbuat maksiat. Adapun masalah pengucilan orang fasik atau ahli bid’ah secara syar’i belum jelas. Tidak di syariatkan mengucilkan orang kafir meskipun ia lebih banyak berbuat dosa dari pada orang fasik dan ahli bid’ah, sebab kondisi kedua kedua golongan ini secara umum termasuk orang beriman.

Menanggapi hal ini, Ibnu Baththal menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki sejumlah ketepatan hokum yang mengandung kemaslahatan bagi para hamba. Dia lebih mengetahui akan hal itu. Adapun mereka hanya bisa menerimanya. Dengan kata lain, Ibnu Baththal cenderung mengatakan hal itu merupakan ibadah yang tidak bisa dirasionalkan. Ada juga yang menanggapi, pengucilan tersebut terbagi dua, yaitu: pengucilan dengan hati dan pengucilan dengan lisan.

Pengucilan dengan hati dan dengan meninggalkan sifat menyayangi , menolong dan membantu hanya berlaku bagi orang kafir. Terutama jika obyeknya adalah orang yang patut diperangi. Tidak dibenarkan mengucilkan orang kafir secara lisan, karena tidak ada yang mengahalanginya dari kekufurannya. Berbeda dengan Muslim yang suka berbuat maksiat. Pada umumnya ia dikucilkan secara lisan. Setiap orang kafir dan pelaku maksiat diperlakukan sama secara syariat dalam rangka mengajaknya taat dan beramar ma’ruf nahi munkar dengan menggunakan doa. Yang diperintahkan agama adalah menghindari pembicaraan dengan perasaan kasih saying dan lain sebagainya.
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menjelaskan hadits di atas, “Hadits itu mengandung perintah menghindari memberi salam kepada orang yang berbuat dosa. Dan pengucilan itu boleh dilakukan lebih dari tiga hari. Masalah larangan pengucilan yang dilakukan lebih dari tiga hari mengandung kemungkinan, sebuah larangan pengucilan yang dilakukan tanpa didasari landasan syariat yang dibenarkan.

Catatan:
39 HR. Al-Bukhari, no 4418 dan Muslim, no 2769.
40  Imam an-Nawawi mengungkapkan, seperti itulah kata “al-Amiri” tercantum dalam semua naskah Muslim. Namun hal itu dibantah para ulama. Mereka mengungkapkan, “Kata ‘al-Amiri’ itu salah. Yang benar adalah ‘al-Amri’, karena berasal dari Bani Amr bin Auf.” Demikian yang disebutkan oleh al-Bukhari.
41 Nama gunung yang terkenal di Madinah


Semoga Bermanfaat
Ditulis kembali dari buku: Mencari teman dunia akhirat (Syaikh Mustafa al-‘Adawi)