Kisah Ka’ab bin Malik dan
Kedua Sahabatnya
Cerita berikut ini tentang sahabat Rasulullah, Ka’ab
bin Malik. Karena absen dalam perang Tabuk, ia bersama dua sahabatnya
dikucilkan. Meski akhirnya mereka diampuni oleh Allah, pengucilan itu menjadi
bukti untuk menghindari orang yang melakukan dosa.
Al-Bukhari dan Muslim39 meriwayatkan,
ketika tidak ikut dalam perang Tabuk, Ka’ab bin Malik berkata, “Saya belum
pernah tertinggal dalam satu perang pun kecuali dalam perang Tabuk. Meskipun saya
pernah tidak turut dalam perang Badar, tapi tidak ada seorang pun yang
mencelaku seperti dalam perang Tabuk. Ketika itu Rasulullah dan kaum Muslimin
keluar untuk menyerang kaum Quraisy. Akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
mempertemukan meraka dan musuhnya pada waktu yang tidak diperhitungkan. Dan saya
menyaksikan bersama Nabi Shalalluhu alaihi wa sallam pada malam Aqabah ketika
kami mengambil sumpah setia untuk islam. Tidak ada yang lebih saya senangi dari
malam tersebut meskipun Badar lebih terkenal di kalangan masyarakat. Adapun cerita
yang bisa saya kabarkan saat tertinggal dari Rasulullah dalam perang Tabuk,
bahwa saya pada waktu itu belum mempunyai kekuatan dan kemudahan ketika tidak
turut dalam perang tersebut. Demi Allah, saya belum pernah menggabungkan dua
perjalanan sama sekali, kecuali saya lakukan pada saat perang itu. Rasulullah berperang
dalam terik panas, melalui perjalanan yang sangat jauh dan menghadapi musuh
yang sangat banyak, agar mereka mempersiapkan segala yang dibutuhkannya dalam
perang. Kemudian mereka diarahkan sesuai dengan yang diinginkan, sementara
jumlah kaum muslimin yang berada bersama Nabi telah banyak…”
Ka’ab melanjutkan, “Saat itu, sangat sedikit pria
yang ingin absen, karena mengira bahwa kesempatan itu akan hilang darinya jika
wahyu Allah tidak diturunkan. Nabi maju berperang ketika buah-buahan dan
pepohonan sedang merekah. Ketika itu saya sangat ingin ikut berperang. Kemudian
Rasulullah dan kaum muslimin bersiap-siap, sementara saya mulai berangkat agar
bisa bersiap-siap bersama mereka. Lalu saya kembali dan tidak melakukan apa pun
seraya berkata dalam hati, ‘Saya mampu melakukan hal itu jika saya mau.’
Hal itu terus menggeluyuti diriku sementara
orang-orang terus mempersiapkan segala sesuatunya. Nabi pun berangkat bersama
kaum muslimin, sedang saya belum lagi selesai mempersiapkan segala sesuatunya. Saya
pun berangkat lalu kembali lagi tanpa persiapan apapun. Hal it uterus berlarut-larut
hingga pasukan Muslimin maju menyerang musuh dan terjun ke kancah perang. Maka,
timbul keinginan kuat dalam diriku untuk pergi dan menyusul mereka. Tapi apa
yang saya lakukan. Saya tetap tidak bisa melakukannya. Ketika saya beranjak
pergi menemui orang-orang setelah Nabi Shalalluhu alaihi wa sallam berangkat,
alangkah sedihnya saya tidak menemukan seseorang pun kecuali seorang pria yang
tenggelam dalam kemunafikan (maksudnya dituduh munafik) atau pria lemah yang
memperoleh izin dari Allah (untuk tidak ikut berperang--pent).
Rasulullah tidak mengingat diriku kecuali setelah
sampai di Tabuk. Beliau berkata ketika duduk di tengah-tengah kerumunan pasukan
muslimin, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin malik?” Salah seorang pria dari Bani
Salamah menjawab, “Wahai Rasulullah! Ia tertahan karena sibuk dengan baju
burdahnya dan takjub melihat diri dan pakaiannya.” Mendengar itu, Mu’adz bin
Jabal radhiyallahu anhu berujar, “Buruk
sekali apa yang engkau katakana. Demi Allah, wahai Rasulullah kami hanya tahu
kebaikan (darinya).” Maka, Rasulullah pun terdiam. Dalam keadaan seperti itu,
beliau melihat seorang pria dengan mengenakan pakaian berwarna putih, bergerak
menerobos. Rasulullah berkata, “Ya Allah, semoga pria itu adalah Abu
Khaitsamah.” Dan ternyata benar, pria tersebut adalah adalah Aku Khaitsamah
orang yang menyedekahkan satu sha’ kurma ketika orang-orang munafik mengejek
dan menghardiknya.
Lalu Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu berujar. “Ketika
kabar bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam telah bergerak kembali dari Tabuk,
saya pun merasa sedih. Kemudian saya mulai berfikir mencari alasan, seraya
berkata: Apa yang bisa membuat ku keluar dari kemarahannya besok? Saya meminta
saran pendapat dari semua keluargaku. Ketika ada yang mengatakan kepadaku,
sesungguhnya Rasulullah telah datang (maksudnya, kedatangannya semakin dekat
seolah-olah bayangan beliau menghantuiku). Segala yang tidak benar dalam diriku
sirna sampai saya berpikir bahwa saya tidak akan bisa selamat selamanya. Lalu saya
pun berusaha menguatkan diri.
Rasulullah pun tiba. Seperti biasanya, setiap tiba
dari suatu perjalanan, beliau singgah di masjid lalu shalat dua rakaat dan
duduk di masjid. Ketika beliau selesai melakukannya, orang-orang yang tidak
turut ikut berperang pun menemuinya, dan minta maaf dan berjanji kepadanya. Saat
itu, jumlah mereka sekitar 80 orang lebih. Rasulullah pun menerima
keterusterangan mereka, membai’at, meminta ampun untuk mereka serta menyerahkan
segala urusan dalam hati mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Akhirnya saya pun tiab. Ketika saya memberi salam,
beliau tersenyum seperti senyuman orang
yang sedang marah lalu berkata, “Kemari!” Kemudian saya datang mendekat dan
duduk di depannya. Beliau pun berkata kepadaku, “Apa yang membuatmu tidak ikut perang?
Bukankah engkau telah menyerahkan dirimu?” Saya menjawab, “Wahai Rasulullah!
Demi Allah, jika saya duduk bersama orang lain dari penduduk dunia ini, saya
berpikir bisa keluar dari kemarahannya dengan memberikan alasan karena saya
lihai dan cakap bertutur kata. Namun demi Allah, saya sadar. Jika hari ini saya
mengutarakan kepadamu berita bohong, engkau akan menerima alasanku, pastinya
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan segera murka kepadaku. Dan jika saya mengungkapkan
kepadamu cerita yang sebenarnya, engkau akan murka kepadaku. Sesungguhnya saya
sangat berharap Allah memberikan akhir yang baik dan membalas diriku atas
perbuatan tersebut. Demi Allah, saya tidak punya alasan dan demi Allah, saya
tidak memiliki kemampuan dan kemudahan dalam diriku ketika tidak ikut perang
denganmu.”
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berujar, “Ketahuilah
dia ini jujur, maka berdirilah hingga Allah memutuskan perkaramu.” Lalu saya
pun berdiri. Beberapa pria dari Bani Salamah bangkit dan mengikutiku, dan
mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak pernah mengetahui engkau telah
melakukan satu dosa pun selama ini. Sesungguhnya engkau telah menjadi lemah
karena tidak mengutarakan alasan kepada Rasulullah, seperti alasan yang
dikemukakan orang-orang yang tidak ikut perang lainnya. Dosamu itu cukup dengan
permohonan ampun Rasulullah untukmu.”
Ka’ab Radhiyallahu anhu menjawab, “Demi Allah,
mereka tidak henti-hentinya menghardikku hingga membuat saya ingin kembali
menemui Rasulullah. Namun saya meyakinkan diriku dan berkata kepada mereka, “Apakah
ada orang lain yang mengalami hal yang sama denganku?” Mereka menjawab, “Ya,
ada dua orang yang mengalami hal yang sama. Mereka berdua berkata seperti yang
engkau katakana. Dan mereka mendapat jawaban yang sama sepertimu.”
Aku bertanya, “Siapa mereka?” Mereka menjawab, “Murarah
bin Rabi’ah al-Amiri40 dan Hilal bin Umayyah al-Qaqifi. “Ka’ab
berkata, “Mereka lalu menyebutkan dua orang pria shalih yang pernah turut dalam
perang Badar dan merupakan teladan.”
Ka’ab melanjutkan, “Kemudian saya berlalu ketika
mereka menceritakan diri mereka kepadaku. Nabi pun melarang kaum Muslimin
membicarakan tentang kami. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni kami
bertiga yang tidak ikut bersama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dalam perang.
Kemudian orang-orang pun menjauhi kami, sikap mereka
berubah kepada kami hingga seakan bumi pun menunjukan sikap asing terhadap
diriku. Saya tak lagi tinggal di tempat yang pernah saya kenal (segala
sesuatunya berubah terhadapku sampai tanah pun turut menunjukan sikap tidak
bersahabat, seolah saya tidak pernah mengenalnya). Kami mengalami hal itu
(pengucilan) selama 50 malam. Sementara dua temanku pasrah dan duduk di
rumahnya sambil menangis. Ketika itu, aku adalah yang paling muda dan tegar. Saya
keluar menunaikan shalat dan berkeliling di pasar tanpa ada seorang pun yang
menyapaku.
Saya mendatangi Nabi lalu menyalaminya ketika sedang
di tempat duduk di mana ia melakukan shalat. Saya berkata dalam hati, apakah
beliau shalallahu alaihi wa sallam menggerakkan kedua bibirnya membalas salamku
atau tidak? Lalu saya shalat tidak jauh dari beliau sembari mencuri pandang
kepadanya. Maka ketika saya selesai menunaikan shalat, beliau melihat ke arahku
dan ketika saya menoleh ke arahnya, beliau berpaling. Ketika sikap tidak
bersahabat yang ditunjukkan kaum Muslimin berlarut-larut, saya berjalan sampai
memanjat pagar dinding Abu Qatadah, keponakanku dan orang yang paling saya
sayangi. Kemudian saya memberi salam kepadanya. Namun demi Allah, ia tidak
membalas ucapan salamku. Lalu saya berkata kepadanya, “Wahai Abu Khatadah! Saya
bertanya kepadamu dengan nama Allah, apakah engkau benar-benar mengetahui bahwa
saya adalah orang yang paling dicintai Allah dan Rasul-Nya?”
Ka’ab melanjutkan, “Ia hanya diam membisu. Lalu saya
kembali bertanya kepadanya. Tapi ia tetap
diam. Saya bertanya lagi kepadanya. Maka
ia menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Mendengar itu, air mataku
berlinang. Saya pun berbalik pergi dengan memanjat pagar dinding tersebut.
Maka ketika saya sedang berjalan di pasar Madinah,
tiba-tiba petani dari penduduk Syam (Damaskus) yang membawa makanan untuk
dijual di Madinah berkata, ‘Siapa yang bisa menunjukkan kepadaku Ka’ab bin
Malik.’
Orang-orang mulia menunjuk ke arahku. Ketika sampai
kepadaku, ia menyodorkan sepucuk surat dari raja Ghassan. Saat itu aku adalah
seorang penulis. Saya pun membacanya. Ternyata isi surat itu berbunyi, “Amma ba’d,
sesungguhnya telah sampai kabar kepada kami bahwa temanmu telah mengucilkanmu. Dan
Allah tidak menjadikanmu (tinggal) di negeri yang hina dan tempat di mana hakmu
disia-siakan. Bergabunglah bersama kami. Kami akan memberikanmu hak yang sama
di sisi kami.”
Ketika membacanya saya berujar, ‘Ini juga cobaan’. Lalu
saya membuangnya ke dalam tungku api yang membakarnya. Ketika 40 dari 50 hari
itu berlalu, wahyu tak kunjung turun. Tiba-tiba seorang utusan Nabi Shalallahu
alaihi wa sallam menemuiku dan menyampaikan pesan: Nabi memerintahkanmu untuk
menjauhi istrimu.”
Saya bertanya, “Apakah saya menceraikannya atau apa
yang harus saya lakukan?” Utusan itu menjawab, “Tidak. Jauhi dirinya dan jangan
sekali-kali mendekatinya.”
Utusan itu lalu menyampaikan hal yang sama kepada
kedua sahabatku. Saya pun berkata kepada istriku, “Kembalilah ke keluargamu dan
tinggallah bersama mereka hingga Allah memutuskan perkara ini.”
Istri Hilal bin Umayyah pun mendatangi Rasulullah
dan berkata, “Wahai Rasulullah! Hilal bin Umayyah adalah orang tua yang tidak
bisa berbuat apa-apa dan ia tidak mempunyai pembantu. Tidak sukakah engkau jika
saya melayaninya?”
Nabi Shalallahu alaihi wa sallam menjawab, “Tidak. Jangan
sekali-kali mendekatinya.”
Istrinya berkata lagi, “Demi Allah, dia sebenarnya
tidak mau melakukan apa-apa dan ia terus menangis sejak awal permasalahannya
muncul hingga hari ini.”
Ka’ab Radhiyallahu anhu melanjutkan kisahnya, “Kemudian
ada beberapa keluargaku berkata, ‘Bagaimana jika saya meminta izin kepada
Rasulullah untuk istrimu? Karena beliau telah mengizinkan istri Hilal bin
Umayyah melayaninya.” Saya menjawab, “Saya tidak akan minta izin kepada
Rasulullah untuk istriku, karena saya masih muda.”
Saya bertahan dalam kondisi itu selama 10 malam,
hingga genap 50 malam sejak Rasulullah melarang berbicara dengan kami. Pada malam
ke-50, saya shalat di dalam rumah. Ketika saya sedang duduk dalam kondisi
seperti yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan tentang kami, jiwaku merasa
tertekan dan seluruh dunia seakan-akan menjadi sempit bagiku meski ia sangat
luas. Saya mendengar suara teriakan seorang pria dari ketinggian gunung Sala41
berkata dengan suara lantang, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!” Mendengar
itu, saya pun bersimpuh sujud. Saya mengetahui bahwa jawabannya telah datang.
Rasulullah pun mengumumkan kepada masyarakat, bahwa
Allah telah menerima taubat kami ketika ia menunaikan shalat shubuh. Maka orang-orang
pun menyampaikan kabar gembira itu kepada kami. Beberapa orang pergi menemui
kedua temanku untuk menyampaikan kabar gembira itu. Seorang pria dengan
mengendarai kuda terlihat ke arahku. Seorang pria dari Aslam lainnya berlari ke
arahku dan mendaki gunung. Suaranya terdengar lebih cepat dari kuda. Maka,
ketika terdengar suara pria menyampaikan kabar gembira tersebut, saya langsung
mencopot kedua bajuku dan memakaikannya kepadanya karena kabar gembira yang
dibawanya. Demi Allah, saat itu, saya hanya mempunyai kedua baju tersebut.
Saya pun meminjam dua buah baju dan mengenakannya,
kemudian beranjak pergi menemui Nabi. Dengan berduyun-duyun, orang-orang
menemuiku untuk mengucapkan selamat atas diterimanya taubat kami. Mereka mengucapkan,
“Selamat! Anda telah mendapatkan taubat dari Allah Subhanahu wa ta’ala.”
Ketika saya masuk masjid, saya mendapati Nabi sedang
duduk di dalam masjid dengan dikelilingi oleh para sahabat. Thalhah bin
Ubaidillah berlari menuju ke arahku, lalu menjabat tangan dan memberikan ucapan
selamat kepadaku. Demi Allah! Hanya dia orang Muhajirin yang berdiri memberikan
selamat kepadaku.” Hal itu membuat Ka’ab tidak bisa melupakan Thalhah.
Ka’ab melanjutkan ceritanya, “ketika saya
mengucapkan salam kepada Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, dengan wajah
bersinar karena senang, beliau berkata, ‘Bergembiralah dengan hari terbaik yang
pernah engkau alami sejak ibumu melahirkanmu.”
Saya berkata, “Apakah (taubat itu) darimu wahai
Rasulullah atau dari Allah?” Nabi menjawab, “Tidak. Tapi dari Allah.” Ketika
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam berbahagia, wajahnya bersinar terang
layaknya bulan. Kami tahu persis hal itu.
Ketika saya duduk dihadapannya, saya pun berkata, “Wahai
Rasulullah! Sebagai wujud taubatku, saya akan menyedekahkan hartaku kapada
Allah dan Rasul-Nya.” Maka Rasulullah menjawab, “Simpan separuh hartamu. Itu lebih
baik bagimu.”
Saya pun berkata, “Saya akan menyisakan bagian
hartaku yang paling terbaik. Saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah! Allah telah
menyematkanku dengan kejujuran dan sebagai wujud taubatku, saya tidak akan
bertutur kata kecuali yang benar selama sisa hidupku.”
Ka’ab melanjutkan berkata, “Demi Allah, saya tidak
pernah mengetahui ada seorang Muslim yang pernah diberikan nikmat dari Allah
untuk berkata jujur sejak saya mengungkapkan hal itu kepada Rasulullah sampai
hari ini, lebih baik dari ujian yang pernah saya alami. Demi Allah, saya tidak
pernah berkata bohong dengan sengaja sejak saya mengungkapkan hal itu kepada
Rasulullah hingga hari ini. Saya berharap semoga Allah memelihara diriku dalam
sisa hidupku.” Maka, turunlah ayat:
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi,
orang-orang Muhajirin dan Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan,
setelah hati segolongan dari mereka hamper berpaling. Kemudian Allah menerima
taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka,
hingga ketika bumi menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa
mereka merasa sempit, serta mereka telah mengetahui bahwa tiada tempat
melarikan diri dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah
menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah
Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
(At-Taubah: 117-119)
Ka’ab Radhiyallahu anhu menambahkan, “Demi Allah!
Tidak ada nikmat yang Allah anugerahkan kepadaku setelah saya diberikan hidayah
masuk islam, lebih agung dan mulia bagiku ketimbang kejujuranku kepada Nabi
bahwa saya berdusta kepadanya hingga membuatku binasa seperti halnya
orang-orang yang suka berdusta itu dibinasakan. Karena Allah mengatakan kepada
orang-orang yang suka berdusta ketika wahyu diturunkan sesuatu yang lebih buruk
yang pernah diungkapkan.” Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama
Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka
berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan
tempat mereka jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka
akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya
kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang
yang fasik itu.” (At-Taubah: 95-96)
“Ka’ab melanjutkan, “Kami, semoga Allah mengampuni
kami bertiga, pernah tidak mengikuti perintah orang-orang yang diterima
Rasulullah ketika mereka bersumpah kepadanya. Lalu ia membaiat dan memohon
ampun kepada mereka. Rasulullah kemudian menangguhkan perkara kami hingga Allah
memutuskannya. Karena itu, Allah berfirman: “Dan kepada tiga orang yang
tertinggal…” (At-Taubah:118) yang disebutkan Allah bukan ketidaksertaan kami
dalam perang. Tapi penangguhan putusan-Nya terhadap permasalahan kami dari
orang yang bersumpah kepada Rasul, memohon ampun, lalu beliau pun menerimanya.”
Dalam al-Adab al-Mufrad, al-Bukhari menulis bab
khusus: “Bab hal-hal yang membolehkan menjauhi orang yang durhaka.” Beliau
membawakan sejumlah hadits yang telah disebutkan di atas dengan menambahkan
penjelasan, “Dan Ka’ab berkata ketika ia tertinggal dari Nabi: “Dan Nabi
melarang kaum muslimin berbicara kepada kami.” Kemudian ia menyebutkan 50 hari
tersebut.
Ibnu Hajar rahimahullah mengungkapkan, al-Mihlab
berkata, “Tujuan al-Bukhari menyusun secara khusus bab tersebut untuk
menjelaskan batasan pengucilan yang diperbolehkan. Bahwa hal itu dilakukan
sesuai dengan kadar tindakan dosa yang dilakukan. Karena itu, orang yang suka
bermaksiat pantas mendapatkan pengucilan dengan didiamkan dan tidak diajak
bicara, seperti yang terjadi dalam kisah Ka’ab dan kedua sahabatnya. Sedangkan jika
terjadi permusuhan antara keluarga dan saudara, pengucilan hanya boleh
dilakukan sebatas meninggalkan penyebutan nama misalnya, atau senyuman, tanpa
meninggalkan salam dan komunikasi.”
Al-Kirmani berkata, “Barangkali yang ia maksud
adalah anologi pengucilan orang yang melanggar aturan syariat dengan pengucilan
nama orang yang menyalahi perkara yang bersifat alami.”
Sementara itu, ath-Thabari menjelaskan, “Kisah Ka’ab
bin Malik merupakan asal mula pengucilan orang yang suka berbuat maksiat. Adapun
masalah pengucilan orang fasik atau ahli bid’ah secara syar’i belum jelas. Tidak
di syariatkan mengucilkan orang kafir meskipun ia lebih banyak berbuat dosa
dari pada orang fasik dan ahli bid’ah, sebab kondisi kedua kedua golongan ini
secara umum termasuk orang beriman.
Menanggapi hal ini, Ibnu Baththal menjelaskan bahwa
Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki sejumlah ketepatan hokum yang mengandung
kemaslahatan bagi para hamba. Dia lebih mengetahui akan hal itu. Adapun mereka
hanya bisa menerimanya. Dengan kata lain, Ibnu Baththal cenderung mengatakan
hal itu merupakan ibadah yang tidak bisa dirasionalkan. Ada juga yang
menanggapi, pengucilan tersebut terbagi dua, yaitu: pengucilan dengan hati dan
pengucilan dengan lisan.
Pengucilan dengan hati dan dengan meninggalkan sifat
menyayangi , menolong dan membantu hanya berlaku bagi orang kafir. Terutama
jika obyeknya adalah orang yang patut diperangi. Tidak dibenarkan mengucilkan
orang kafir secara lisan, karena tidak ada yang mengahalanginya dari
kekufurannya. Berbeda dengan Muslim yang suka berbuat maksiat. Pada umumnya ia
dikucilkan secara lisan. Setiap orang kafir dan pelaku maksiat diperlakukan
sama secara syariat dalam rangka mengajaknya taat dan beramar ma’ruf nahi
munkar dengan menggunakan doa. Yang diperintahkan agama adalah menghindari
pembicaraan dengan perasaan kasih saying dan lain sebagainya.
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menjelaskan hadits di
atas, “Hadits itu mengandung perintah menghindari memberi salam kepada orang
yang berbuat dosa. Dan pengucilan itu boleh dilakukan lebih dari tiga hari. Masalah
larangan pengucilan yang dilakukan lebih dari tiga hari mengandung kemungkinan,
sebuah larangan pengucilan yang dilakukan tanpa didasari landasan syariat yang
dibenarkan.
Catatan:
39 HR. Al-Bukhari,
no 4418 dan Muslim, no 2769.
40
Imam an-Nawawi mengungkapkan, seperti itulah kata “al-Amiri”
tercantum dalam semua naskah Muslim. Namun hal itu dibantah para ulama. Mereka mengungkapkan,
“Kata ‘al-Amiri’ itu salah. Yang benar adalah ‘al-Amri’, karena berasal dari
Bani Amr bin Auf.” Demikian yang disebutkan oleh al-Bukhari.
41 Nama gunung
yang terkenal di Madinah
Semoga Bermanfaat
Ditulis kembali dari buku: Mencari teman dunia akhirat (Syaikh Mustafa al-‘Adawi)
Ditulis kembali dari buku: Mencari teman dunia akhirat (Syaikh Mustafa al-‘Adawi)